Thursday, 16 January 2014
Mereka menggunakan kertas untuk menulis
kata “shmily”, lalu menaruhnya dalam kaleng permen atau di dalam kotak mie, dan
menunggu seseorang untuk menemukan kata tersebut ketika akan memakannya. Dengan
jari mereka menorehkan “shmily” di dalam wadah gula atau tepung, untuk
ditemukan oleh siapapun yang mendapat giliran menyiapkan makanan. Mereka
membuatnya dengan embun yang menempel pada jendela yang menghadap ke beranda
belakang. “Shmily” dituliskan pada uap yang menempel pada kaca kamar mandi
setelah seseorang mandi air panas; kata itu akan muncul berulang – ulang setiap
kali ada yang selesai mandi. Nenekku bahkan pernah membuka gulungan tisu toilet
dan menulis “shmily” di ujung gulungan itu. “Shmily” bisa muncul di mana saja.
Pesan-pesan singkat dengan “shmily” yang ditulis tergesa-gesa bisa ditemukan di
dasbor atau jok mobil, atau direkatkan pada kemudi. Catatan kecil itu
diselipkan ke dalam sepatu atau diletakkan di bawah bantal. “Shmily” digoreskan
pada lapisan debu di atas penutup perapian atau pada timbunan abu di perapian.
Hingga sekian lama, saya baru bisa memahami
sepenuhnya makna permainan kakek dan nenek ini. Di saat belia saya
tidak mengerti arti cinta, cinta yang begitu murni bersih dan teguh untuk
selamanya. Namun, saya sama sekali tidak meragukan kasih diantara kakek dan
nenek. Mereka sungguh saling mencintai. Dengan cinta yang lebih mendalam
daripada kemesraan yang mereka tunjukkan; cinta adalah cara pedoman hidup
mereka. Hubungan mereka didasarkan pada pengabdian dan kasih yang tulus, yang
tidak semua orang cukup beruntung untuk mengalaminya.
Pada setiap kesempatan yang memungkinkan,
kakek dan nenek akan selalu nampak berjalan berdampingan, bercerita topik-topik
yang ringan, dengan sesekali diselingi oleh senda gurau dan tawa riang. Mereka
saling menyelesaikan kalimat pasangannya.
Kadang kala nenek dengan bangga akan
berbisik di telinga saya, dan mengatakan bahwa kakek memiliki wajah yang tampan
dan sangat mempesona, masih setampan masa mudanya dulu, dan hal yang membuat
nenek sangat mengagumi kakek adalah karena kakek selalu baik pada setiap orang,
sabar dan selalu berbicara apa adanya.
Sebelum makan mereka selalu menundukkan
kepala dan mengucap syukur atas rakhmat yang mereka terima: keluarga yang
bahagia, rezeki yang cukup, dan pasangan mereka. Tetapi, dalam kehidupan
kakek-nenekku ada satu sisi kelam: nenekku menderita kanker. Penyakit itu
pertama kali diketahui sepuluh tahun sebelumnya. Seperti yang selalu
dilakukannya, Kakek mendampingi Nenek menjalani setiap tahap pengobatan. Dia
menghibur Nenek di kamar kuning mereka, yang sengaja dicat dengan warna itu
agar Nenek selalu dikelilingi sinar matahari, bahkan ketika dia terlalu sakit
untuk keluar rumah.
Sekali lagi kanker menyerang tubuh Nenek.
Dengan bantuan sebatang tongkat dan tangan kakekku yang kukuh, mereka tetap
pergi kegereja setiap pagi. Tetapi nenekku dengan cepat menjadi lemah sampai,
akhirnya, dia tak bisa lagi keluar rumah. Kakek pergi ke gereja sendirian,
berdoa agar Tuhan menjaga istrinya. Sampai pada suatu hari, apa yang kami
takutkan terjadi. Nenek meninggal. Nenek menghembus nafas terakhir dalam
pelukan kakek.
“Shmily”. Kata itu ditulis dengan tinta
kuning pada pita-pita merah jambu yang menghias buket bunga duka untuk nenekku.
Setelah para pelayat semakin berkurang dan yang terakhir beranjak pergi, para
paman dan bibiku, sepupu-sepupuku, dan anggota keluarga lainnya maju mengelilingi
nenek untuk terakhir kali. Kakek melangkah mendekati peti mati nenek lalu,
dengan suara bergetar, dia menyanyi untuk
nenek “Lihat, betapa aku mencintaimu…”.
Menembus air mata kesedihan, suara nyanyian
yang rendah dan berat ini mengalun lembut masuk ke dalam telinga. Akhirnya
saya mengerti makna khusus kata “Shmily” dari permainan mereka, yakni
“See How Much I Love You”.
Cinta kasih kakek dan nenek sungguh
mengharukan. Karena cinta kakek yang teramat dalam kepada nenek, pada mulanya
kakek selalu terlihat murung, merasa bagai kehilangan sesuatu yang sangat
berharga, hidup seperti tidak berarti lagi. Tetapi untunglah, pada akhirnya
kakek menyadari bahwa jalan hidup setiap orang sudah digariskan, sudah
ditakdirkan. Setiap manusia selalu melalui proses kelahiran, penuaan, sakit, dan mati.
Suatu sore saat saya mengunjungi kakek,
kakek sudah terlihat ceria kembali, bahkan menasehati diri saya untuk
tidak menyia-nyiakan hidup, karena kehidupan ini adalah pemberian Tuhan.
“Hal yang terpenting adalah bukan melakukan hal-hal yang besar, melainkan melakukan hal-hal kecil dengan jiwa yang besar”
Salam Cinta Kasih Sayang.
Subscribe to:
Post Comments
(Atom)
BLOG ARCHIVE
-
▼
2014
(51)
-
▼
January
(17)
- PENGARUH JEJARING SOSIAL DALAM MASYARAKAT.
- Peduli untuk Berbagi
- Semua Tentang Ibu
- Peri Oh Peri
- 5 Wanita Super dan Karyanya
- Kisah Seorang Pencuri
- Apa Arti Seorang Kekasih?
- Hal Kecil untuk Jiwa yang Besar
- Sang Pengagum
- Melawan Angin
- Manfaat Ampas Teh bagi Rumah Tangga
- Rahasia Ampas Teh bagi Kecantikan
- Bahaya "Music Player" bagi Pendengaran
- Gunung-Gunung yang Penuh Misteri
- ALKOHOL = NARKOBA ?
- Misteri Dibalik Segitiga Bermuda
- KETIKA ALAM BERMAIN MUSIK
-
▼
January
(17)
CLOCK
MY PROFILE
Powered by Blogger.
0 comments:
Post a Comment