Thursday, 28 May 2015
Undang – undang No. 36 Tahun 1999 tentang
telekomunikasi berisikan sembilan bab yang mengatur hal-hal berikut ini;
ketentuan umum telekomunikasi, asas dan tujuan telekomunikasi, pembinaan
telekomunikasi, penyelenggaraan telekomunikasi, penyidikan telekomunikasi,
sanksi administrasi telekomunikasi, ketentuan pidana, ketentuan peralihan
telekomunikasi, dan ketentuan penutup telekomunikasi.
A. DEFINISI TELEKOMUNIKASI
Berikut adalah beberapa pengertian yang
terdapat dalam UU No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi:
- Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.
- Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi.
- Perangkat telekomunikasi adalah sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi.
- Sarana dan prasarana tetekomunikasi adalah segala sesuatu yang memungkinkan dan mendukung berfungsinya telekomunikasi.
- Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi.
- Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, badan usaha milik daerah, badan usaha milik negara, badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara.
- Interkoneksi adalah keterhubungan antarjaringan telekomunikasi dan penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda.
B. ASAS DAN TUJUAN
Didalam UU no.36
th.1999 terdapat pasal yang menyebutkan tentang azas dan tujuan yaitu terdapat
pada
Pasal 2: “Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri”
Pasal 3: “Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.”
- Asas manfaat berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi akan lebih berdaya guna dan berhasil guna baik sebagai infrastruktur pembangunan, sarana penyelenggaraan pemerintahan, sarana pendidikan, sarana perhubungan maupun sebagai komoditas ekonomi yang dapat lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin.
- Asas adil dan merata adalah bahwa penyelenggaraan telekomunikasi memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada semua pihak yang memenuhi syarat dan hasil- hasilnya dinikmati oleh masyarakat secara adil dan merata.
- Asas kepastian hukum berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi harus didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang menjami kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum baik bagi para investor, penyelenggara telekomunikasi, maupun kepada pengguna telekomunikasi.
- Asas kepercayaan pada diri sendiri, dilaksanakan dengan memanfaatkan secara maksimal potensi sumber daya nasional secara efisien serta penguasaan teknologi telekomunikasi, sehingga dapat meningkatkan kemandirian dan mengurangi ketergantungan sebagai suatu bangsa dalam menghadapi persaingan global.
- Asas keamanan dimaksudkan agar penyelenggaraan telekomunikasi selalu memperhatikan faktor keamanan dalam perencanaan, pembangunan, dan pengoperasiannya. Asas etika dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan telekomunikasi senantiasa dilandasi oleh semangat profesionalisme, kejujuran, kesusilaan, dan keterbukaan.
- Asas kemitraan mengandung makna bahwa penyelenggaraan telekomunikasi harus dapat mengembangkan iklim yang harmonis, timbal balik, dan sinergi, dalam penyelenggaraan telekomunikasi.
- Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa. Tujuan penyelenggaraan telekomunikasi yang demikian dapat dicapai, antara lain, melalui reformasi telekomunikasi untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan telekomunikasi dalam rangka menghadapi globalisasi, mempersiapkan sektor telekomunikasi memasuki persaingan usaha yang sehat dan profesional dengan regulasi yang transparan, serta membuka lebih banyak kesempatan berusaha bagi pengusaha kecil dan menengah.
C. PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI
Dalam rangka efektivitas pembinaan,
pemerintah melakukan koordinasi dengan instansi terkait, penyelenggara
telekomunikasi, dan mengikutsertakan peran masyarakat. Dalam posisi yang
demikian, pelaksanaan pembinaan telekomunikasi yang dilakukan Pemerintah
melibatkan peran serta masyarakat, berupa penyampaian pemikiran dan pandangan
yang berkembang dalam masyarakat mengenai arah pengembangan pertelekomunikasian
dalam rangka penetapan kebijakan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan di
bidang telekomunikasi. Pelaksanaan peran serta masyarakat diselenggarakan oleh
lembaga mandiri yang dibentuk untuk maksud tersebut. Lembaga seperti ini
keanggotaannya terdiri dari asosiasi yang bergerak di bidang usaha
telekomunikasi, asosiasi profesi telekomunikasi, asosiasi produsen peralatan
telekomunikasi, asosiasi pengguna jaringan, dan jasa telekomunikasi serta
masyarakat intelektual di bidang telekomunikasi. Ketentuan mengenai tata cara
peran serta masyarakat dan pembentukan lembaga masih akan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Setelah mengetahui pasal yang
menyebutkan azas dan tujuan di UU no.36 th.1999 disebutkan juga tentang
penyelenggaraan telekomunikasi yaitu:
Pasal 7:
Ayat1: “Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi :
- a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
- b. penyelenggaraaan jasa telekomunikasi;
- c. penyelenggaraan telekomunikasi khusus.”
Dari pasal 7 juga disebutkan dalam ayat 2: ”hal-hal yang
diperhatikan dalam penyelenggaraan telekomunikasi sebagai berikut :
- a. melindungi kepentingan dan keamanan negara;
- b. mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global;
- c. dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;
- d. peran serta masyarakat.”
Jadi dalam penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilakukan oleh
badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan
perundangan-undangan yang berlaku yang dijelaskan pada pasal 8 ayat 1 dan 2:
Ayat 1: “Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1)
huruf a dan huruf b, dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud
tersebut berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, yaitu :
- a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
- b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
- c. badan usaha swasta; atau
- d. koperasi;”
Ayat 2: “Penyelenggaraan Telekomunikasi khusus sebagaimana
dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) huruf c, dapat dilakukan oleh :
- a. perseorangan;
- b. instansi pemerintah ;
- c. badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi;”
D. PENYIDIKAN
Pasal 44
- (1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Iingkungan Departemen yang Iingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
- (2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
- a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran Iaporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
- b. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
- c. menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
- d. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka;
- e. melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
- f. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
- g. menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
- h. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi; dan .
- i. mengadakan penghentian penyidikan
(3)
Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diiaksanakan sesuai
dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana.
E. SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 45
Barang
siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal
21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2),
Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34 ayat (2)
dikenai sanksi administrasi.
Pasal 46
(1)
Sanksi admiriistrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan
izin.
(2)
Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi
peringatan tertulis.
F. KETENTUAN PIDANA
- Pasal 47 : Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
- Pasal 48 : Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
- Pasal 49 : Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
- Pasal 50 : Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
- Pasal 51 : Penyelenggara telekomunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) atau Pasal 29 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
- Pasal 52 : Barang siapa memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan atau menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
- Pasal 53 :
- (1) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
- (2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling Iama 15 (lima belas) tahun.
- Pasal 54 : Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
- Pasal 55 : Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
- Pasal 56 : Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
- Pasal 57 : Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
- Pasal 58 : Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52 atau Pasal 56 dirampas untuk negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Pasal 59 : Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.
Sumber:
Regulasi
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengaturan. Regulasi di Indonesia
diartikan sebagai sumber hukum formil berupa peraturan perundang-undangan yang
memiliki beberapa unsur, yaitu merupakan suatu keputusan yang tertulis,
dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, dan mengikat umum.
A. PENGERTIAN HAK CIPTA
Hak cipta
(lambang internasional: ©) adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak
Cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi
tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan “hak untuk menyalin suatu
ciptaan”. Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk
membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak
cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas. Hak cipta berlaku pada
berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau “ciptaan”. Ciptaan tersebut
dapat mencakup puisi, drama, serta karya tulis lainnya, film, karya-karya
koreografis (tari, balet, dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara,
lukisan, gambar, patung, foto, perangkat lunak komputer, siaran radio dan
televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu) desain industri.
Hak cipta
merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda
secara mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten, yang
memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi), karena hak cipta bukan
merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah
orang lain yang melakukannya.
Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima
hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk
itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Berdasarkan rumusan pasal 1 UHC Indonesia).
Hal ini menunjukkan bahwa hak cipta itu hanya dapat dimiliki oleh si pencipta
atau si penerima hak. Hanya namanya yang disebut sebagai pemegang hak khususnya
yang boleh menggunakan hak cipta dan ia dilindungi dalam penggunaan haknya
terhadap subjek lain yang menggangu atau yang menggunakannya tidak dengan cara
yang diperkenankan oleh aturan hukum. Hak cipta merupakan hak ekslusif, yang
memberi arti bahwa selain pencipta maka orang lain tidak berhak atasnya kecuali
atas izin penciptanya. Hak itu muncul secara otomatis setelah suatu ciptaan
dilahirkan. Hak cipta tidak dapat dilakuakn dengan cara penyerahan nyata karena
ia mempunyai sifat manunggal dengan penciptanya dan bersifat tidak berwujud
videnya penjelasan pasal 4 ayat 1 UHC Indonesia. Sifat manunggal itu pula yang
menyebabkan hak cipta tidak dapat digadaikan, karena jika digadaikan itu
berarti si pencipta harus pula ikut beralih ke tangan kreditur.
B. UNDANG-UNDANG HAK CIPTA
Undang-undang hak cipta yang berlaku di Indonesia adaalh
UU No. 19 Tahun 2002, yang sebelumnya UU ini berawal dari UU No. 6 Tahun 1982
menggantikan Auteurswet 1982. Undang-undang ini dikeluarkan sebagai upaya
pemerintah untuk rombak sistem hukum yang ditinggalkan oleh Pemerintah Hindia
Belanda kepada suatu sistem hukum yang dijiwai falsafah Negara Indonesia, yaitu
Pancasila. Pekerjaan membuat satu perangkat materi hukum yang sesuai dengan
hukum yang dicitacitakan bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Undang-Undang hak
cipta 1982 yang diperbaharui dengan UU No. 7 Tahun 1987 dan diperbaharui lagi
dengan UU No. 12 Tahun 1997, terakhir dengan UU No. 19 Tahun 2002.
Hukum yang
mengatur hak cipta biasanya hanya mencakup ciptaan yang berupa perwujudan suatu
gagasan tertentu dan tidak mencakup gagasan umum, konsep, fakta, gaya, atau
teknik yang mungkin terwujud atau terwakili di dalam ciptaan tersebut. Sebagai
contoh, hak cipta yang berkaitan dengan tokoh kartun Mickey Mouse melarang
pihak yang tidak berhak menyebarkan salinan kartun tersebut atau menciptakan
karya yang meniru tokoh tikus tertentu ciptaan Walt Disney tersebut, namun
tidak melarang penciptaan atau karya seni lain mengenai tokoh tikus secara
umum. Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta,
yaitu, yang berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002.
C. KETENTUAN UMUM
Berdasarkan UU No. 19 ketentuan umum mengenai hak cipta
secara garis besar yaitu:
Hak cipta merupakan hak ekslufif bagi para pencipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak hasil ciptaannya atau memberikan izin dengan
tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku (UU No. 19 Pasal 1 Ayat 1).
Dimana pencipta disini adalah seorang atau beberapa orang
yang melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan imajinasi, keterampilan
atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
Sedangkan Ciptaan disini artinya adalah hasil setiap karya yang dihasilkan
berdasarkan kemampuan-kemampuan tersebut. Ciptaan disini dapat dilakukan
penyebaran menggunakan alat apa pun, termasuk media internet atau melakukan
dengan cara apa pun, sehingga ciptaan tersebut dapat dibaca, didengar atau
dilihat oleh orang lain.
Hak cipta selain diberikan kepada si pemilik hak cipta
dapat pula pihak lain mendapatkan hak tersebut dengan diberikannya hak tersebut
dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang
menerima hak tersebut.
Untuk mendapatkan hak cipta, pencipta dapat melakukan
permohonan pendaftaran ciptaan yang diajukan kepada Direktorat Jenderal.
Setelah mendapatkan hak cipta tersebut, pencipta dapat menggunakan Lisensi,
yaitu izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta kepada pihak lain untuk
mengumumkan dan atau memperbanyak ciptannya dengan persyaratan tertentu.
D. RUANG LINGKUP
Lingkup hak cipta diatur didalam bab 2 mengenai linkup hak cipta pasal 2-28 :
Ciptaan yang dilindungi (pasal 12), Ciptaan yang
dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang
mencakup: buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis
yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain, ceramah, kuliah, pidato,
dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu, alat peraga yang dibuat untuk
kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan, lagu atau musik dengan atau tanpa
teks, drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim,
seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni
kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan, arsitektur, peta,
seni batik, fotografi, sinematografi, terjemahan, tafsir, saduran, bunga
rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
Ciptaan yang tidak ada Hak Cipta (pasal 13), hasil rapat
terbuka lembaga-lembaga Negara, peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan
atau pidato pejabat Pemerintah, putusan pengadilan atau penetapan hakim atau
keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.
E. PERLINDUNGAN HAK CIPTA
Perlindungan hak cipta pada umumnya berarti
bahwa penggunaan atau pemakaian dari hasil karya tertentu hanya dapat dilakukan
dengan ijin dari pemilik hak tersebut. Yang dimaksud menggunakan atau memakai
di sini adalah mengumumkan, memperbanyak ciptaan atau memberikan ijin untuk
itu.
Pasal
12 ayat 1:
Dalam Undang-undang ini Ciptaan (pasal 12 ayat 1) yang
dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang
mencakup:
a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out)
karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis
dengan itu;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan
dan ilmu pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau drama musikal, tari, koreografi,
pewayangan, dan pantomim;
f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis,
gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni
terapan;
g. arsitektur;
h. peta;
i. seni batik;
j. fotografi;
k. sinematografi;
l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database,
dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
Pasal 13 :
Ciptaan yang tidak ada Hak Cipta adalah:
a. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
b. peraturan perundang-undangan;
c. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
d. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
e. keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan
sejenis lainnya.
F. PEMBATASAN HAK CIPTA
Menurut Undang-undnag yang berlaku di Indonesia, hak
cipta diatur dalam pasal 14, 15, 16 (ayat 1-6), 17, dan 18. Pemakaian ciptaan
tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabilasumbernya disebut atau
dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untukkegiatan yang
bersifat non-komersial termasuk untuk kegiatan sosial, misalnya, kegiatandalam
lingkup pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan
pengembangan,dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari
penciptanya.
Kepentingan yang wajar dalam hal ini adalah “kepentingan
yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu
ciptaan”. Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan ciptaan untuk
pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus untuk
pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang dikutip
harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurang-kurangnya
nama pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Selain itu,
seorang pemilik (bukan pemegang hak cipta) program komputer dibolehkan membuat
salinan atas program komputer yang dimilikinya, untuk dijadikan cadangan
semata-mata untuk digunakan sendiri.
Selain itu, Undang-undang Hak Cipta juga mengatur hak
pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan atau mewajibkan pihak tertentu
memperbanyak ciptaan berhak cipta demikepentingan umum atau kepentingan
nasional (pasal 16 dan 18), ataupun melarangpenyebaran ciptaan “yang apabila
diumumkan dapat merendahkan nilai-nilai keagamaan,ataupun menimbulkan masalah
kesukuan atau ras, dapat menimbulkan gangguan atau bahayaterhadap pertahanan
keamanan negara, bertentangan dengan norma kesusilaan umum yangberlaku dalam
masyarakat, dan ketertiban umum” (pasal 17). Ketika orang mengambil hakcipta
seseorang maka orang tersebut akan mendapat hukuman yang sesuai pada kejahatan yang
dilakukan.
G. PERLINDUNGAN HAK CIPTA
Perlindungan hak cipta tidak diberikan kepada ide atau
gagasan karena karya cipta harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi
dan menunjukkan keaslian sebagai ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan,
kreatifitas atau keahlian, sehingga ciptaan itu dapat dilihat, dibaca atau didengar. Perlindungan
hak cipta adalah suatu cara yang digunakan bagi pemilik hak cipta agar suatu
ciptaan nya dapat di lindungi. Pemilik ciptaan akan mendapatkan perlindungan
dengan cara mendaftarkan ciptaannya akan mendapat surat pendaftaran ciptaan
yang dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul
sengketa dikemudian hari terhadap ciptaan tersebut.
H. PROSEDUR PENDAFTARAN HAK CIPTA
Sesuai yang diatur pada bab
IV Undang-undang Hak Cipta pasal 35, pendaftaran hak cipta diselenggarakan oleh
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), yang kini berada di
bawah [Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia]. Pencipta atau pemilik hak
cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya maupun melalui konsultan HKI.
Permohonan pendaftaran hak cipta dikenakan biaya (UU 19/2002 pasal 37 ayat 2).
Penjelasan prosedur dan formulir pendaftaran hak cipta dapat diperoleh di
kantor maupun situs webDitjen HKI. “Daftar Umum Ciptaan” yang mencatat
ciptaan-ciptaan terdaftar dikelola oleh Ditjen HKI dandapat dilihat oleh setiap
orang tanpa dikenai biaya. Prosedur mengenai pendaftaran HAKI diatur dalam bab
4, pasal 35-44.
Permohonan pendaftaran hak cipta diajukan kepada Menteri
Kehakiman melalui Derektorat Jendral HAKI dengan surat rangkap dua, ditulis
dalam bahasa Indonesia di atas kertas polio berganda. dalam surat permohonan
itu tertera:
a) Nama, kewarganegaraan, dan alamat pencipta.
b) Nama, kewarganegaraan, dan alamat pemegang hak cipta.
c) Nama, kewarganegaraan, dan alamat kuasa.
d) Jenis dan judul ciptaan.
e) Tanggal dan tempat ciptaan diumumkan untuk pertama
kali.
f) Uraian ciptaan rangkap tiga.
Apabila surat permohonan pendaftaran ciptaan telah
memenuhi syarat-syarat tersebut, ciptaan yang dimohonkan pendaftarannya
didaftarkan oleh Direktorat Hak Cipta, Paten, dan Merek dalam daftar umum
ciptaan dengan menerbitkan surat pendaftaraan ciptaan dalam rangkap 2. Kedua
lembaran tersebut ditandatangi oleh Direktur Jendral HAKI atau pejabat yang
ditunjuk, sebagai bukti pendaftaran, sedangkan lembar kedua surat pendaftaran
ciptaan tersebut beserta surat permohonan pendaftaran ciptaan dikirim kepada
pemohon dan lembar pertama disimpan di Kantor Direktorat Jendral HAKI.
Di Indonesia, pendaftaran ciptaan bukan merupakan suatu
keharusan bagi pencipta. Sesuai yang diatur pada bab IV Undang-undang Hak
Cipta, pendaftaran hak cipta diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) yang kini berada di bawah Kementrian Hukum
dan Hak Asasi Manusia. Pencipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya maupun
melalui konsultan HKI. Permohonan pendaftaran hak cipta dikenakan biaya (UU
19/2002 pasal 37 ayat 2). Penjelasan prosedur dan formulir pendaftaran hak cipta
dapat diperoleh di kantor maupun situs web Ditjen HKI.
I. ASOSIASI HAK CIPTA DI INDONESIA
Asosiasi Hak Cipta di Indonesia antara lain:
a. KCI : Karya Cipta Indonesia
b. ASIRI : Asosiasi Industri Rekaman Indonesia
c. ASPILUKI : Asosiasi Piranti Lunak Indonesia
d. APMINDO : Asosiasi Pengusaha Musik Indonesia
e. ASIREFI : Asosiasi Rekaman Film Indonesia
f. PAPPRI : Persatuan Artis Penata Musik Rekaman Indonesia
g. IKAPI : Ikatan Penerbit Indonesia
h. MPA : Motion Picture Assosiation
i. BSA : Bussiness Software Assosiation
j. YRCI : Yayasan Reproduksi Cipta Indonesia
Sumber:
Subscribe to:
Posts
(Atom)